Selamat Datang Di Blog Ini, Silakan Nikmati Hidangan Kami, Jangan Lupa Komentar Anda

Rabu, 09 Juni 2010

cerita sufi

 
 
SULTAN YANG MENJADI ORANG BUANGAN
 
Seorang   Sultan   Mesir   konon  mengumpulkan  orang  orang
terpelajar,  dan-seperti  biasanya--timbullah  pertengkaran.
Pokok  masalahnya  adalah  Mikraj  Nabi Muhammad. Dikatakan,
pada kesempatan tersebut Nabi diambil dari tempat  tidurnya,
dibawa  ke  langit.  Selama  waktu  itu ia menyaksikan sorga
neraka, berbicara dengan Tuhan  sembilan  puluh  ribu  kali,
mengalami   pelbagai   kejadian  lain--dan  dikembalikan  ke
kamarnya sementara tempat tidurnya masih hangat.  Kendi  air
yang terguling karena tersentuh Nabi waktu berangkat, airnya
masih belum habis ketika Nabi turun kembali.
 
Beberapa orang berpendapat bahwa hal itu benar, sebab ukuran
waktu disini dan di sana berbeda. Namun Sultan menganggapnya
tidak masuk akal.
 
Para ulama cendikia itu semuanya mengatakan bahwa segala hal
bisa  saja  terjadi  karena  kehendak  Tuhan.  Hal itu tidak
memuaskan raja.
 
Berita perbedaan pendapat itu akhirnya  didengar  oleh  Sufi
Syeh  Shahabuddin,  yang  segera saja menghadap raja. Sultan
menunjukkan kerendahan hati terhadap sang guru yang berkata,
"Saya bermaksud   segera      saja   mengadakan  pembuktian.
Ketahuilah bahwa kedua tafsiran itu keliru,  dan  bahwa  ada
faktor-faktor yang bisa ditunjukkan, yang menjelaskan cerita
itu tanpa harus mendasarkan pada perkiraan ngawur atau akal,
yang dangkal dan terbatas."
 
Di  ruang  pertemuan  itu  terdapat empat jendela. Sang Syeh
memerintahkan agar yang sebuah dibuka. Sultan melihat keluar
melalui  jendela  itu. Di pegunungan nunjauh disana terlihat
olehnya sejumlah besar perajurit menyerang,  bagaikan  semut
banyaknya, menuju ke istana. Sang Sultan sangat ketakutan.
 
"Lupakan saja, tak ada apa-apa," kata Syeh itu.
 
Ia menutup jendela itu lalu membukanya kembali. Kali ini tak
ada seorang perajurit pun yang tampak.
 
Ketika ia membuka jendela  yang  lain,  kota  yang  di  luar
tampak terbakar. Sultan berteriak ketakutan.
 
"Jangan  bingung,  Sultan;  tak ada apa-apa," kata Syeh itu.
Ketika pintu itu ditutup lalu dibuka kembali,  tak  ada  api
sama sekali.
 
Ketika   jendela   ketiga   dibuka,  terlihat  banjir  besar
mendekati istana. Kemudian ternyata lagi  bahwa  banjir  itu
tak ada.
 
Jendela  keempat  dibuka, dan yang tampak bukan padang pasir
seperti biasanya, tetapi sebuah taman firdaus.  Dan  setelah
jendela tertutup lagi, lalu dibuka, pemandangan itu tak ada.
 
Kemudian  Syeh  meminta  seember  air,  dan  meminta  Sultan
memasukkan kepalanya dalam air sesaat  saja  Segera  setelah
Sultan melakukan itu, ia merasa berada di sebuah pantai yang
sepi, di tempat yang  sama  sekali  tak  dikenalnya,  karena
kekuatan  gaib  Syeh  itu.  Sultan  marah  sekali  dan ingin
membalas dendam.
 
Segera saja Sultan bertemu dengan  beberapa  orang  penebang
kayu yang menanyakan siapa dirinya. Karena sulit menjelaskan
siapa dia sebenarnya, Sultan mengatakan bahwa  ia  terdampar
di  pantai  itu  karena  kapalnya  pecah.  Mereka memberinya
pakaian, dan iapun berjalan ke sebuah kota. Di kota itu  ada
seorang   tukang   besi  yang  melihatnya  gelandangan,  dan
bertanya siapa dia  sebenarnya.  Sultan  menjawab  bahwa  ia
seorang  pedagang  yang  terdampar, hidupnya tergantung pada
kebaikan hati penebang kayu, dan tanpa mata pencarian.
 
Orang  itu  kemudian  menjelaskan  tentang  kebiasaan   kota
tersebut.  Semua  pendatang  baru boleh meminang wanita yang
pertama ditemuinya, meninggalkan tempat  mandi,  dan  dengan
syarat  si  wanita itu harus menerimanya. Sultan itupun lalu
pergi ke tempat mandi umum, dan di  lihatnya  seorang  gadis
cantik  keluar  dari  tempat  itu. Ia bertanya apa gadis itu
sudah kawin: ternyata sudah. Jadi ia harus  menanyakan  yang
berikutnya,  yang wajahnya sangat buruk. Dan yang berikutnya
lagi. Yang ke empat sungguh-sungguh molek. Katanya ia  belum
kawin,  tetapi  ditolaknya  Sultan  karena tubuh dan bajunya
yang tak karuan.
 
Tiba-tiba ada seorang lelaki berdiri didepan Sultan katanya,
"Aku  disuruh  ke mari menjemput seorang yang kusut di sini.
Ayo, ikut aku."
 
Sultanpun mengikuti pelayan itu, dan dibawa  kesebuah  rumah
yang  sangat  indah.  Ia  pun duduk di salah satu ruangannya
yang megah berjam-jam lamanya. Akhirnya empat wanita  cantik
dan berpakaian indah-indah masuk, mengantarkan wanita kelima
yang lebih cantik lagi. Sultan mengenal wanita  itu  sebagai
wanita terakhir yang ditemuinya di rumah mandi umum tadi.
 
Wanita itu memberinya selamat datang dan mengatakan bahwa ia
telah bergegas pulang untuk  menyiapkan  kedatangannya,  dan
bahwa  penolakannya  tadi  itu  sebenarnya sekedar merupakan
basa-basi saja, yang dilakukan oleh  setiap  wanita  apabila
berada di jalan.
 
Kemudian  menyusul  makanan  yang  lezat.  Jubah yang sangat
indah disiapkan untuk  Sultan,  dan  musik  yang  merdu  pun
diperdengarkan.
 
Sultan  tinggal  selama  tujuh  tahun  bersama istrinya itu:
sampai  ia  menghambur-hamburkan  habis  warisan   istrinya.
Kemudian  wanita  itu  mengatakan  bahwa kini Sultanlah yang
harus menanggung hidup keduanya bersama ketujuh anaknya.
 
Ingat pada sahabatnya yang pertama di kota itu,  Sultan  pun
kembali  menemui  tukang  besi untuk meminta nasehat. Karena
Sultan tidak memiliki kemampuan  apapun  untuk  bekerja,  ia
disarankan pergi ke pasar menjadi kuli.
 
Dalam sehari, meskipun ia telah mengangkat beban yang sangat
berat, ia hanya bisa mendapatkan sepersepuluh dari uang yang
dibutuhkannya untuk menghidupi keluarganya.
 
Hari  berikutnya  Sultan  pergi  ke pantai, dan ia sampai di
tempat pertama kali dulu ia muncul di sini, tujuh tahun yang
lalu.  Ia pun memutuskan untuk sembahyang, dan mengambil air
wudhu: dan pada saat itu pula mendadak ia berada kembali  di
istananya,  bersama-sama dengan Syeh itu dan segenap pegawai
keratonnya.
 
"Tujuh tahun dalam  pengasingan,  hai  orang  jahat"  teriak
Sultan. "Tujuh tahun, menghidupi keluarga, dan harus menjadi
kuli: Apakah kau tidak takut kepada Tuhan, Sang Maha  Kuasa,
hingga berani melakukan hal itu terhadapku?"
 
"Tetapi kejadian itu hanya sesaat," kata guru Sufi tersebut,
"yakin waktu Baginda mencelupkan wajah ke air itu."
 
Para pegawai keraton membenarkan hal itu.
 
Sultan sama sekali tidak bisa mempercayai  sepatah  katapun.
Ia  segera  saja  memerintahkan  memenggal  kepala Syeh itu.
Karena  merasa  bahwa  hal  itu  akan  terjadi?   Syeh   pun
menunjukkan  kemampuannya  dalam Ilmu Gaib (Ilm el-Ghaibat).
Iapun  segera  lenyap  dari  istana  tiba-tiba   berada   di
Damaskus, yang jaraknya berhari-hari dari istana itu.
 
Dari kota itu ia menulis surat kepada Sultan:
 
"Tujuh  tahun  berlalu  bagi  tuan,  seperti yang telah tuan
rasakan  sendiri;  padahal  hanya  sesaat  saja  wajah  tuan
tercelup   di   air.  Hal  tersebut  terjadi  karena  adanya
kekuatan-kekuatan tertentu,  yang  hanya  dimaksudkan  untuk
membuktikan  apa  yang  bisa terjadi. Bukankah menurut kisah
itu, tempat tidur Nabi masih hangat dan kendi air itu  belum
habis isinya?
 
Yang  penting  bukanlah terjadi atau tidaknya peristiwa itu.
Segalanya mungkin terjadi. Namun, yang penting adalah  makna
kenyataan  itu.  Dalam  hal tuan, tak ada makna sama sekali.
Dalam hal Nabi, peristiwa itu mengandung makna."
 
Catatan
 
Dinyatakan, setiap ayat dalam  Quran  memiliki  tujuh  arti,
masing-masing    sesuai    untuk    keadaan   pcmbaca   atau
pendengarnya.
 
Kisah  ini,  seperti  macam  lain  yang  banyak  beredar  di
kalangan  Sufi,  menekankan  nasehat Muhammad, "Berbicaralah
kepada setiap orang sesuai dengan taraf pemahamannya."
 
Metode Sufi, menurut Ibrahim Khawas, adalah: "Tunjukkan  hal
yang  tak diketahui sesuai dengan cara-cara yang 'diketahui'
khalayak."
 
Versi ini berasal dari  naskah  bernama  Hu-Nama  "Buku  Hu"
dalam kumpulan Nawab Sardhana, bertahun 1596.


Tersesat di Surga 

Seorang pemuda, ahli amal ibadah datang ke seorang Sufi. Sang pemuda dengan bangganya mengatakan kalau dirinya sudah melakukan amal ibadah wajib, sunnah, baca Al-Qur’an, berkorban untuk orang lain dan kelak harapan satu satunya adalah masuk syurga dengan tumpukan amalnya.
Bahkan sang pemuda tadi malah punya catatan amal baiknya selama ini dalam buku hariannya, dari hari ke hari.
“Saya kira sudah cukup bagus apa yang saya lakukan Tuan…”
“Apa yang sudah anda lakukan?”
“Amal ibadah bekal bagi syurga saya nanti…”
“Kapan anda menciptakan amal ibadah, kok anda merasa punya?”
Pemuda itu diam…lalu berkata,
“Bukankah semua itu hasil jerih payah saya sesuai dengan perintah dan larangan Allah?”

“Siapa yang menggerakkan jerih payah dan usahamu itu?”
“Saya sendiri…hmmm….”
“Jadi kamu mau masuk syurga sendiri dengan amal-amalmu itu?”
“Jelas dong tuan…”
“Saya nggak jamin kamu bisa masuk ke syurga. Kalau toh masuk kamu malah akan tersesat disana…”
Seorang pemuda, ahli amal ibadah datang ke seorang Sufi. Sang pemuda dengan bangganya mengatakan kalau dirinya sudah melakukan amal ibadah wajib, sunnah, baca Al-Qur’an, berkorban untuk orang lain dan kelak harapan satu satunya adalah masuk syurga dengan tumpukan amalnya.
Bahkan sang pemuda tadi malah punya catatan amal baiknya selama ini dalam buku hariannya, dari hari ke hari.
“Saya kira sudah cukup bagus apa yang saya lakukan Tuan…”
“Apa yang sudah anda lakukan?”
“Amal ibadah bekal bagi syurga saya nanti…”
“Kapan anda menciptakan amal ibadah, kok anda merasa punya?”
Pemuda itu diam…lalu berkata,
“Bukankah semua itu hasil jerih payah saya sesuai dengan perintah dan larangan Allah?”“Siapa yang menggerakkan jerih payah dan usahamu itu?”
“Saya sendiri…hmmm….”
“Jadi kamu mau masuk syurga sendiri dengan amal-amalmu itu?”
“Jelas dong tuan…”
“Saya nggak jamin kamu bisa masuk ke syurga. Kalau toh masuk kamu malah akan tersesat disana…”
Pemuda itu terkejut bukan main atas ungkapan Sang Sufi. Pemuda itu antara marah dan diam, ingin sekali menampar muka sang sufi.
“Mana mungkin di syurga ada yang tersesat. Jangan-jangan tuan ini ikut aliran sesat…” kata pemuda itu menuding Sang Sufi.
“Kamu benar. Tapi sesat bagi syetan, petunjuk bagi saya….”
“Toloong diperjelas…”“Begini saja, seluruh amalmu itu seandainya ditolak oleh Allah bagaimana?”
“Lho kenapa?”
“Siapa tahu anda tidak ikhlas dalam menjalankan amal anda?”
“Saya ikhlas kok, sungguh ikhlas. Bahkan setiap keikhlasan saya masih saya ingat semua…”
“Nah, mana mungkin ada orang yang ikhlas, kalau masih mengingat-ingat amal baiknya? Mana mungkin anda ikhlas kalau anda masih mengandalkan amal ibadah anda?
Mana mungkin anda ikhlas kalau anda sudah merasa puas dengan amal anda sekarang ini?”Pemuda itu duduk lunglai seperti mengalami anti klimaks, pikirannya melayang membayang bagaimana soal tersesat di syurga, soal amal yang tidak diterima, soal ikhlas dan tidak ikhlas.
Dalam kondisi setengah frustrasi, Sang sufi menepuk pundaknya.
“Hai anak muda. Jangan kecewa, jangan putus asa. Kamu cukup istighfar saja. Kalau kamu berambisi masuk syurga itu baik pula. Tapi, kalau kamu tidak bertemu dengan Sang Tuan Pemilik dan Pencipta syurga bagaimana? Kan sama dengan orang masuk rumah orang, lalu anda tidak berjumpa dengan tuan rumah, apakah anda seperti orang linglung atau orang yang bahagia?”
“Saya harus bagaimana tuan…”“Mulailah menuju Sang Pencipta syurga, maka seluruh nikmatnya akan diberikan kepadamu. Amalmu bukan tiket ke syurga. Tapi ikhlasmu dalam beramal merupakan wadah bagi ridlo dan rahmat-Nya, yang menarik dirimu masuk ke dalamnya…”
Pemuda itu semakin bengong antara tahu dan tidak.
“Begini saja, anak muda. Mana mungkin syurga tanpa Allah, mana mungkin neraka bersama Allah?”
Pemuda itu tetap saja bengong. Mulutnya melongo seperti kerbau.

ISA DAN ORANG-ORANG BIMBANG
 
Diceritakan  oleh  Sang  Guru  Jalaludin   Rumi   dan   yang
lain-lain, pada suatu hari Isa, putra Mariam, berjalan-jalan
di padang pasir dekat Baitulmukadis bersama-sama  sekelompok
orang yang masih suka mementingkan diri sendiri.
 
Mereka  meminta dengan sangat agar Isa memberitahukan kepada
mereka  Kata  Rahasia  yang  telah   dipergunakannya   untuk
menghidupkan  orang  mati. Isa berkata, "Kalau kukatakan itu
padamu, kau pasti menyalahgunakannya."
 
Mereka  berkata,  "Kami  sudah   siap   dan   sesuai   untuk
pengetahuan   semacam  itu;  tambahan  lagi,  hal  itu  akan
menambah keyakinan kami."
 
"Kalian tak memahami apa yang kalian minta," katanya -tetapi
diberitahukannya juga Kata Rahasia itu.
 
Segera  setelah  itu, orang-orang tersebut berjalan di suatu
tempat yang terlantar dan  mereka  melihat  seonggok  tulang
yang sudah memutih. "Mari kita uji keampuhan Kata itu," kata
mereka, Dan diucapkanlah Kata itu.
 
Begitu   Kata   diucapkan,   tulang-tulang   itupun   segera
terbungkus  daging dan menjelma menjadi seekor binatang liar
yang kelaparan, yang kemudian  merobek-robek  mereka  sampai
menjadi serpih-serpih daging.
 
Mereka  yang  dianugerahi  nalar  akan mengerti. Mereka yang
nalarnya terbatas bisa belajar melalui kisah ini.
 
Catatan
 
Isa dalam kisah ini adalah Yesus,  putra  Maria.  Kisah  ini
mengandung  gagasan  yang  sama dengan yang ada dalam Magang
Sihir, dan juga muncul dalam karya Rumi, di  samping  selalu
muncul  dalam  dongeng-dongeng  lisan  para  darwis  tentang
Yesus. Jumlah dongeng semacam itu banyak sekali.
 
Yang  sering   disebut-sebut   sebagai   tokoh   yang   suka
mengulang-ngulang  kisah  ini adalah salah seorang di antara
yang berhak menyandang sebutan Sufi, Jabir  putra  al-Hayan,
yang  dalam  bahasa  Latin  di sebut Geber, yang juga penemu
alkimia Kristen.
 
Ia meninggal sekitar 790. Aslinya ia  orang  Sabia,  menurut
para  pengarang  Barat,  ia  membuat penemuan-penemuan kimia
penting.


ORANG YANG MENYADARI KEMATIAN
 
Konon, ada seorang raja  darwis  yang  berangkat  mengadakan
perjalanan  melalui  laut.  Ketika  penumpang-penumpang lain
memasuki  perahu  satu  demi  satu,  mereka  melihatnya  dan
sebagai lazimnya --merekapun  meminta nasehat kepadanya. Apa
yang dilakukan semua darwis tentu sama saja,  yakni  memberi
tahu  orang-orang  itu  hal  yang  itu-itu  juga: darwis itu
tampaknya mengulangi saja salah satu  rumusan  yang  menjadi
perhatian darwis sepanjang masa.
 
Rumusan itu adalah: "Cobalah menyadari maut, sampai kau tahu
maut itu apa." Hanya beberapa  penumpang  saja  yang  secara
khusus tertarik akan peringatan itu.
 
Mendadak   ada   angin  topan  menderu.  Anak  kapal  maupun
penumpang   semuanya   berlutut,    memohon    agar    Tuhan
menyelamatkan  perahunya.  Mereka terdengar berteriak-teriak
ketakutan,  menyerah  kepada  nasib,  meratap   mengharapkan
keselamatan.  Selama itu sang darwis duduk tenang, merenung,
sama sekali tidak memberikan reaksi terhadap gerak-gerik dan
adegan yang ada disekelilingnya.
 
Akhirnya  suasana  kacau  itu  pun berhenti, laut dan langit
tenang, dan para penumpang menjadi sadar kini betapa  tenang
darwis itu selama peristiwa ribut-ribut itu berlangsung.
 
Salah   seorang   bertanya  kepadanya,  "Apakah  Tuan  tidak
menyadari bahwa pada waktu angin  topan  itu  tak  ada  yang
lebih  kokoh  daripada  selembar papan, yang bisa memisahkan
kita dari maut?"
 
"Oh, tentu," jawab darwis itu. "Saya tahu, di laut selamanya
begitu.  Tetapi saya juga menyadari bahwa, kalau saya berada
di darat dan  merenungkannya,  dalam  peristiwa  sehari-hari
biasa, pemisah antara kita dan maut itu lebih rapuh lagi."
 
Catatan
 
Kisah   ini  ciptaan  Bayazid  dari  Bistam,  sebuah  tempat
disebelah selatan  Laut  Kaspia.  Ia  adalah  salah  seorang
diantara  Sufi  Agung zaman lampau, dan meninggal pada paroh
kedua abad kesembilan.
 
Ayahnya  seorang  pengikut  Zoroaster,   dan   ia   menerima
pendidikan  kebatinannya  di  India. Karena gurunya, Abu-Ali
dari Sind, tidak menguasai ritual Islam sepenuhnya, beberapa
ahli  beranggapan  bahwa  Abu-Ali  beragama Hindu, dan bahwa
Bayazid tentunya mempelajari  metode  mistik  India.  Tetapi
tidak   ada  ahli  yang  berwewenang,  diantara  Sufi,  yang
mengikuti anggapan tersebut. Para pengikut Bayazid  termasuk
kaum Bistamia.


ORANG YANG BERJALAN DI ATAS AIR
 
Seorang darwis yang suka berpegang pada kaidah, yang berasal
dari  mazhab sangat saleh, pada suatu hari berjalan menyusur
tepi sungai. Ia memusatkan perhatian pada  pelbagai  masalah
moral  dan ajaran, sebab itulah yang menjadi pokok perhatian
pengajaran  Sufi  dalam  mazhabnya.  Ia   menyamakan   agama
perasaan dengan pencarian Kebenaran mutlak.
 
Tiba-tiba   renungannya   terganggu   oleh  teriakan  keras:
seseorang terdengar mengulang-ngulang suatu ungkapan darwis.
"Tak  ada  gunanya itu," katanya kepada diri sendiri, "sebab
orang   itu   telah   salah    mengucapkannya.    Seharusnya
diucapkannya YA-HU, tapi dia mengucapkannya U-YA-HU."
 
Kemudian  ia  menyadari  bahwa,  sebagai  Darwis  yang lebih
teliti, ia mempunyai kewajiban untuk meluruskan ucapan orang
itu.  Mungkin  orang  itu  tidak pernah mempunyai kesempatan
mendapat bimbingan yang baik, dan  karenanya  telah  berbuat
sebaik-baiknya  untuk  menyesuaikan diri dengan gagasan yang
ada di balik suara yang diucapkannya itu.
 
Demikianlah Darwis yang pertama itu menyewa perahu dan pergi
ke  pulau  di  tengah-tengah  arus sungai, tempat asal suara
yang didengarnya tadi.
 
Didapatinya orang  itu  duduk  disebuah  gubuk  alang-alang,
bergerak-gerak  sangat sukar teratur mengikuti ungkapan yang
diucapkannya itu.  "Sahabat,"  kata  darwis  pertama,  "Anda
keliru   mengucapkan   ungkapan   itu.   Saya   berkewajiban
memberitahukan hal ini kepada Anda, sebab  ada  pahala  bagi
orang  yang memberi dan menerima nasehat. Inilah ucapan yang
benar." Lalu di beritahukannya ucapan itu.
 
"Terima kasih," kata darwis  yang  lain  itu  dengan  rendah
hati.
 
Darwis  pertama  turun ke perahunya lagi, sangat puas, sebab
baru saja  berbuat  amal.  Bagaimanapun,  kalau  orang  bisa
mengulang-ngulang  ungkapan  rahasia  itu  dengan benar, ada
kemungkinan bisa berjalan diatas air. Hal itu  memang  belum
pernah   disaksikannya  sendiri tetapi --berdasarkan  alasan
tertentu-- darwis pertama itu ingin sekali bisa melakukannya.
 
Kini ia  tak mendengar lagi  suara  gubuk  alang-alang  itu,
namun   ia   yakin   bahwa   nasehatnya  telah  dilaksanakan
sebaik-baiknya.
 
Kemudian didengarnya kembali ucapan  U-YA  yang  keliru  itu
ketika darwis yang di pulau tersebut mulai mengulang-ngulang
ungkapannya.
 
Ketika darwis pertama merenungkan hal itu, memikirkan betapa
manusia  memang  suka  bersikeras mempertahankan kekeliruan,
tiba-tiba disaksikannya  pandangan  yang  menakjubkan.  Dari
arah  pulau  itu, darwis kedua tadi tampak menuju perahunya,
berjalan diatas air.
 
Karena takjubnya, ia pun berhenti mendayung. Darwis keduapun
mendekatinya,  katanya, "Saudara, maaf saya mengganggu Anda.
Saya  datang  untuk  menanyakan  cara   yang   benar   untuk
mengucapkan ungkapan yang Anda beritahukan kepada saya tadi;
sulit benar rasanya mengingat-ingatnya."
 
Catatan
 
Dalam  Bahasa  Indonesia,  hanya   satu   arti   yang   bisa
diungkapkan   oleh   kisah  ini.  Dalam  versi  Arab  sering
dipergunakan kata-kata yang  bunyinya  sama  tetapi  berbeda
arti   (homonim)   untuk  menyatakan  bahwa  kata  itu  bisa
dipergunakan untuk  memperdalam  kesadaran,  disamping  juga
menunjukkan sesuatu yang nilainya dangkal.
 
Di  samping  terdapat dalam sastra masa kini yang populer di
Timur, kisah ini juga didapati dalam naskah-naskah pelajaran
darwis, beberapa diantaranya sangat penting.
 
Versi  ini  berasal dan Kaum Asaaseen ('hakiki,' 'asli'), di
Timur Dekat dan Tengah.

SANG RAJA DAN ANAK MISKIN
 
Sendirian saja, orang tidak akan bisa menempuh  jalan  dalam
perjalanan  batinnya.  Kau  tidak  usah  mencoba menempuhnya
sendirian, sebab harus ada  pembimbingmu.  Yang  kita  sebut
raja adalah pembimbing, dan anak miskin itu Si Pencari.
 
Dikisahkan,  Raja  Mahmud  dan  tentaranya  terpisah. Ketika
sedang  mengendarai  kudanya   kencang-kencang,   dilihatnya
seorang  anak  lelaki  kecil berada di tepi sungai. Anak itu
telah menebarkan jalanya  ke  sungai  dan  tampaknya  sangat
murung.
 
"Anakku,"  kata  Sang  Raja,  "kenapa kau murung? Tak pernah
kulihat orang semurung kau itu."
 
Anak lelaki itu menjawab, "Hamba salah  seorang  dari  tujuh
bersaudara  yang  tidak berayah lagi. Kami hidup bersama ibu
kami dalam kemelaratan dan  tanpa  bantuan  siapapun.  Hamba
datang  kemari setiap hari, memasang jala mencari ikan, agar
ada yang dimakan setiap malam.  Kalau  hamba  tak  menangkap
seekor  ikanpun  pada  siang  hari,  malamnya kami tak punya
apa-apa."
 
"Anakku," kata Sang Raja, "bolehkah  aku  membantumu?"  Anak
itu  setuju,  dan  Rajapun  melemparkan  jala  yang,  karena
sentuhan kewibawaannya, menghasilkan seratus ikan."
 
Catatan
 
Oleh orang-orang  yang  belum  luas  pengetahuannya,  sistem
metafisika   sering  dikira  sebagai  menolak  nilai  "benda
duniawi"   atau,   sebaliknya,   menjanjikan    melimpahnya
keuntungan kebendaan.
 
Namun,  dalam  Sufisme  "hal-hal  baik"  yang  dicapai tidak
selalu kiasan atau sama sekali harafiah.  Kisah  perumpamaan
ini  berasal  dari  Faridudin  Attar,  dicantumkannya  dalam
Parlemen Burung,  dan  dipergunakan  dalam  pengertian  baik
harafiah maupun perlambangan. Menurut para darwis; seseorang
bisa  mendapatkan  kekayaan  kebendaan  dengan  jalan  Sufi,
apabila  hal  itu  demi  keuntungan  Jalan  dan juga dirinya
sendiri. Disamping itu, ia  pun  akan  mendapatkan  kepuasan
rohani  sesuai  dengan  kemampuannya  mempergunakan  hal itu
dengan cara yang benar.
 


ANJING, TONGKAT DAN SUFI
 
Pada   suatu  hari  seorang  yang  berpakaian  sebagai  Sufi
berjalan-jalan; ia melihat seekor anjing di  jalan;  ia  pun
memukulnya   dengan  tongkat.  Si  Anjing,  sambil  melolong
kesakitan, berlari  menuju  Abu  Said,  Sang  Ulama.  Anjing
itupun  menjatuhkan  dirinya  dekat  kaki  Sang Ulama sambil
memegang moncongnya yang terluka; ia mohon  keadilan  karena
telah diperlakukan secara kejam oleh sufi itu.
 
Abu  Said  mempertemukan keduanya. Kepada Sufi dikatakannya,
"O Saudara yang seenaknya, kenapa  kau  perlakukan  binatang
dungu ini sekasar itu! Lihat akibatperbuatanmu!"
 
Sang  Sufi  menjawab,"itu  sama  sekali  bukan salahku, tapi
salahnya Saya tidak memukulnya tanpa alasan, saya memukulnya
karena ia mengotori jubahku."
 
Tetapi Si Anjing tetap menyampaikan keluhannya.
 
Kemudian  Sang Bijaksana berbicara kepada Anjing, "Dari pada
menunggu Ganti Rugi Akhirat, baiklah saya berikan ganti rugi
bagi rasa sakitmu itu."
 
Si  Anjing  berkata,  "Sang Agung dan Bijaksana! Ketika saya
melihat orang ini berpakaian  sebagai  Sufi,  saya  berfikir
bahwa  ia  tak  akan menyakiti saya. Seandainya saya melihat
orang yang berpakaian biasa saja, tentunya akan saya berikan
keleluasaan padanya untuk lewat. Kesalahan utama saya adalah
menganggap  bahwa  pakaian   orang   suci   itu   menandakan
keselamatan.  Apabila  Tuan  ingin  menghukumnya,  rampaslah
pakaian  Sufinya  itu.  Campakkan  dia  dari  pakaian   Kaum
Terpilih Pencari Kebenaran ..."
 
Anjing  itu  sendiri  berada suatu Tahap dalam Jalan. Sangat
keliru kalau kita beranggapan bahwa manusia harus lebih baik
darinya.
 
Catatan
 
"Penciptaan keadaan" yang disini ditampilkan oleh jubah Sufi
sering disalahtafsirkan oleh kaum  kebatinan  dan  keagamaan
apa  saja sebagai sesuatu yang berhubungan dengan pengalaman
dari kegunaan nyata.
 
Kisah ini, dari buku Attar Ilahi-Nama, sering  diulang-ulang
oleh para Sufi "Jalan Salah," dan dianggap ciptaan Hamdun Si
Pemutih Kain, pada abad kesembilan.
 

Tidak ada komentar:

cuaca pematang siantar

daftar isi