SULTAN YANG MENJADI ORANG BUANGAN
Seorang Sultan Mesir konon mengumpulkan orang orang
terpelajar, dan-seperti biasanya--timbullah pertengkaran.
Pokok masalahnya adalah Mikraj Nabi Muhammad. Dikatakan,
pada kesempatan tersebut Nabi diambil dari tempat tidurnya,
dibawa ke langit. Selama waktu itu ia menyaksikan sorga
neraka, berbicara dengan Tuhan sembilan puluh ribu kali,
mengalami pelbagai kejadian lain--dan dikembalikan ke
kamarnya sementara tempat tidurnya masih hangat. Kendi air
yang terguling karena tersentuh Nabi waktu berangkat, airnya
masih belum habis ketika Nabi turun kembali.
Beberapa orang berpendapat bahwa hal itu benar, sebab ukuran
waktu disini dan di sana berbeda. Namun Sultan menganggapnya
tidak masuk akal.
Para ulama cendikia itu semuanya mengatakan bahwa segala hal
bisa saja terjadi karena kehendak Tuhan. Hal itu tidak
memuaskan raja.
Berita perbedaan pendapat itu akhirnya didengar oleh Sufi
Syeh Shahabuddin, yang segera saja menghadap raja. Sultan
menunjukkan kerendahan hati terhadap sang guru yang berkata,
"Saya bermaksud segera saja mengadakan pembuktian.
Ketahuilah bahwa kedua tafsiran itu keliru, dan bahwa ada
faktor-faktor yang bisa ditunjukkan, yang menjelaskan cerita
itu tanpa harus mendasarkan pada perkiraan ngawur atau akal,
yang dangkal dan terbatas."
Di ruang pertemuan itu terdapat empat jendela. Sang Syeh
memerintahkan agar yang sebuah dibuka. Sultan melihat keluar
melalui jendela itu. Di pegunungan nunjauh disana terlihat
olehnya sejumlah besar perajurit menyerang, bagaikan semut
banyaknya, menuju ke istana. Sang Sultan sangat ketakutan.
"Lupakan saja, tak ada apa-apa," kata Syeh itu.
Ia menutup jendela itu lalu membukanya kembali. Kali ini tak
ada seorang perajurit pun yang tampak.
Ketika ia membuka jendela yang lain, kota yang di luar
tampak terbakar. Sultan berteriak ketakutan.
"Jangan bingung, Sultan; tak ada apa-apa," kata Syeh itu.
Ketika pintu itu ditutup lalu dibuka kembali, tak ada api
sama sekali.
Ketika jendela ketiga dibuka, terlihat banjir besar
mendekati istana. Kemudian ternyata lagi bahwa banjir itu
tak ada.
Jendela keempat dibuka, dan yang tampak bukan padang pasir
seperti biasanya, tetapi sebuah taman firdaus. Dan setelah
jendela tertutup lagi, lalu dibuka, pemandangan itu tak ada.
Kemudian Syeh meminta seember air, dan meminta Sultan
memasukkan kepalanya dalam air sesaat saja Segera setelah
Sultan melakukan itu, ia merasa berada di sebuah pantai yang
sepi, di tempat yang sama sekali tak dikenalnya, karena
kekuatan gaib Syeh itu. Sultan marah sekali dan ingin
membalas dendam.
Segera saja Sultan bertemu dengan beberapa orang penebang
kayu yang menanyakan siapa dirinya. Karena sulit menjelaskan
siapa dia sebenarnya, Sultan mengatakan bahwa ia terdampar
di pantai itu karena kapalnya pecah. Mereka memberinya
pakaian, dan iapun berjalan ke sebuah kota. Di kota itu ada
seorang tukang besi yang melihatnya gelandangan, dan
bertanya siapa dia sebenarnya. Sultan menjawab bahwa ia
seorang pedagang yang terdampar, hidupnya tergantung pada
kebaikan hati penebang kayu, dan tanpa mata pencarian.
Orang itu kemudian menjelaskan tentang kebiasaan kota
tersebut. Semua pendatang baru boleh meminang wanita yang
pertama ditemuinya, meninggalkan tempat mandi, dan dengan
syarat si wanita itu harus menerimanya. Sultan itupun lalu
pergi ke tempat mandi umum, dan di lihatnya seorang gadis
cantik keluar dari tempat itu. Ia bertanya apa gadis itu
sudah kawin: ternyata sudah. Jadi ia harus menanyakan yang
berikutnya, yang wajahnya sangat buruk. Dan yang berikutnya
lagi. Yang ke empat sungguh-sungguh molek. Katanya ia belum
kawin, tetapi ditolaknya Sultan karena tubuh dan bajunya
yang tak karuan.
Tiba-tiba ada seorang lelaki berdiri didepan Sultan katanya,
"Aku disuruh ke mari menjemput seorang yang kusut di sini.
Ayo, ikut aku."
Sultanpun mengikuti pelayan itu, dan dibawa kesebuah rumah
yang sangat indah. Ia pun duduk di salah satu ruangannya
yang megah berjam-jam lamanya. Akhirnya empat wanita cantik
dan berpakaian indah-indah masuk, mengantarkan wanita kelima
yang lebih cantik lagi. Sultan mengenal wanita itu sebagai
wanita terakhir yang ditemuinya di rumah mandi umum tadi.
Wanita itu memberinya selamat datang dan mengatakan bahwa ia
telah bergegas pulang untuk menyiapkan kedatangannya, dan
bahwa penolakannya tadi itu sebenarnya sekedar merupakan
basa-basi saja, yang dilakukan oleh setiap wanita apabila
berada di jalan.
Kemudian menyusul makanan yang lezat. Jubah yang sangat
indah disiapkan untuk Sultan, dan musik yang merdu pun
diperdengarkan.
Sultan tinggal selama tujuh tahun bersama istrinya itu:
sampai ia menghambur-hamburkan habis warisan istrinya.
Kemudian wanita itu mengatakan bahwa kini Sultanlah yang
harus menanggung hidup keduanya bersama ketujuh anaknya.
Ingat pada sahabatnya yang pertama di kota itu, Sultan pun
kembali menemui tukang besi untuk meminta nasehat. Karena
Sultan tidak memiliki kemampuan apapun untuk bekerja, ia
disarankan pergi ke pasar menjadi kuli.
Dalam sehari, meskipun ia telah mengangkat beban yang sangat
berat, ia hanya bisa mendapatkan sepersepuluh dari uang yang
dibutuhkannya untuk menghidupi keluarganya.
Hari berikutnya Sultan pergi ke pantai, dan ia sampai di
tempat pertama kali dulu ia muncul di sini, tujuh tahun yang
lalu. Ia pun memutuskan untuk sembahyang, dan mengambil air
wudhu: dan pada saat itu pula mendadak ia berada kembali di
istananya, bersama-sama dengan Syeh itu dan segenap pegawai
keratonnya.
"Tujuh tahun dalam pengasingan, hai orang jahat" teriak
Sultan. "Tujuh tahun, menghidupi keluarga, dan harus menjadi
kuli: Apakah kau tidak takut kepada Tuhan, Sang Maha Kuasa,
hingga berani melakukan hal itu terhadapku?"
"Tetapi kejadian itu hanya sesaat," kata guru Sufi tersebut,
"yakin waktu Baginda mencelupkan wajah ke air itu."
Para pegawai keraton membenarkan hal itu.
Sultan sama sekali tidak bisa mempercayai sepatah katapun.
Ia segera saja memerintahkan memenggal kepala Syeh itu.
Karena merasa bahwa hal itu akan terjadi? Syeh pun
menunjukkan kemampuannya dalam Ilmu Gaib (Ilm el-Ghaibat).
Iapun segera lenyap dari istana tiba-tiba berada di
Damaskus, yang jaraknya berhari-hari dari istana itu.
Dari kota itu ia menulis surat kepada Sultan:
"Tujuh tahun berlalu bagi tuan, seperti yang telah tuan
rasakan sendiri; padahal hanya sesaat saja wajah tuan
tercelup di air. Hal tersebut terjadi karena adanya
kekuatan-kekuatan tertentu, yang hanya dimaksudkan untuk
membuktikan apa yang bisa terjadi. Bukankah menurut kisah
itu, tempat tidur Nabi masih hangat dan kendi air itu belum
habis isinya?
Yang penting bukanlah terjadi atau tidaknya peristiwa itu.
Segalanya mungkin terjadi. Namun, yang penting adalah makna
kenyataan itu. Dalam hal tuan, tak ada makna sama sekali.
Dalam hal Nabi, peristiwa itu mengandung makna."
Catatan
Dinyatakan, setiap ayat dalam Quran memiliki tujuh arti,
masing-masing sesuai untuk keadaan pcmbaca atau
pendengarnya.
Kisah ini, seperti macam lain yang banyak beredar di
kalangan Sufi, menekankan nasehat Muhammad, "Berbicaralah
kepada setiap orang sesuai dengan taraf pemahamannya."
Metode Sufi, menurut Ibrahim Khawas, adalah: "Tunjukkan hal
yang tak diketahui sesuai dengan cara-cara yang 'diketahui'
khalayak."
Versi ini berasal dari naskah bernama Hu-Nama "Buku Hu"
dalam kumpulan Nawab Sardhana, bertahun 1596.
Tersesat di Surga Seorang pemuda, ahli amal ibadah datang ke seorang Sufi. Sang pemuda dengan bangganya mengatakan kalau dirinya sudah melakukan amal ibadah wajib, sunnah, baca Al-Qur’an, berkorban untuk orang lain dan kelak harapan satu satunya adalah masuk syurga dengan tumpukan amalnya.
Bahkan sang pemuda tadi malah punya catatan amal baiknya selama ini dalam buku hariannya, dari hari ke hari.
“Saya kira sudah cukup bagus apa yang saya lakukan Tuan…”
“Apa yang sudah anda lakukan?”
“Amal ibadah bekal bagi syurga saya nanti…”
“Kapan anda menciptakan amal ibadah, kok anda merasa punya?”
Pemuda itu diam…lalu berkata,
“Bukankah semua itu hasil jerih payah saya sesuai dengan perintah dan larangan Allah?”
“Siapa yang menggerakkan jerih payah dan usahamu itu?”
“Saya sendiri…hmmm….”
“Jadi kamu mau masuk syurga sendiri dengan amal-amalmu itu?”
“Jelas dong tuan…”
“Saya nggak jamin kamu bisa masuk ke syurga. Kalau toh masuk kamu malah akan tersesat disana…”
Seorang pemuda, ahli amal ibadah datang ke seorang Sufi. Sang pemuda dengan bangganya mengatakan kalau dirinya sudah melakukan amal ibadah wajib, sunnah, baca Al-Qur’an, berkorban untuk orang lain dan kelak harapan satu satunya adalah masuk syurga dengan tumpukan amalnya.
Bahkan sang pemuda tadi malah punya catatan amal baiknya selama ini dalam buku hariannya, dari hari ke hari.
“Saya kira sudah cukup bagus apa yang saya lakukan Tuan…”
“Apa yang sudah anda lakukan?”
“Amal ibadah bekal bagi syurga saya nanti…”
“Kapan anda menciptakan amal ibadah, kok anda merasa punya?”
Pemuda itu diam…lalu berkata,
“Bukankah semua itu hasil jerih payah saya sesuai dengan perintah dan larangan Allah?”“Siapa yang menggerakkan jerih payah dan usahamu itu?”
“Saya sendiri…hmmm….”
“Jadi kamu mau masuk syurga sendiri dengan amal-amalmu itu?”
“Jelas dong tuan…”
“Saya nggak jamin kamu bisa masuk ke syurga. Kalau toh masuk kamu malah akan tersesat disana…”
Pemuda itu terkejut bukan main atas ungkapan Sang Sufi. Pemuda itu antara marah dan diam, ingin sekali menampar muka sang sufi.
“Mana mungkin di syurga ada yang tersesat. Jangan-jangan tuan ini ikut aliran sesat…” kata pemuda itu menuding Sang Sufi.
“Kamu benar. Tapi sesat bagi syetan, petunjuk bagi saya….”
“Toloong diperjelas…”“Begini saja, seluruh amalmu itu seandainya ditolak oleh Allah bagaimana?”
“Lho kenapa?”
“Siapa tahu anda tidak ikhlas dalam menjalankan amal anda?”
“Saya ikhlas kok, sungguh ikhlas. Bahkan setiap keikhlasan saya masih saya ingat semua…”
“Nah, mana mungkin ada orang yang ikhlas, kalau masih mengingat-ingat amal baiknya? Mana mungkin anda ikhlas kalau anda masih mengandalkan amal ibadah anda?
Mana mungkin anda ikhlas kalau anda sudah merasa puas dengan amal anda sekarang ini?”Pemuda itu duduk lunglai seperti mengalami anti klimaks, pikirannya melayang membayang bagaimana soal tersesat di syurga, soal amal yang tidak diterima, soal ikhlas dan tidak ikhlas.
Dalam kondisi setengah frustrasi, Sang sufi menepuk pundaknya.
“Hai anak muda. Jangan kecewa, jangan putus asa. Kamu cukup istighfar saja. Kalau kamu berambisi masuk syurga itu baik pula. Tapi, kalau kamu tidak bertemu dengan Sang Tuan Pemilik dan Pencipta syurga bagaimana? Kan sama dengan orang masuk rumah orang, lalu anda tidak berjumpa dengan tuan rumah, apakah anda seperti orang linglung atau orang yang bahagia?”
“Saya harus bagaimana tuan…”“Mulailah menuju Sang Pencipta syurga, maka seluruh nikmatnya akan diberikan kepadamu. Amalmu bukan tiket ke syurga. Tapi ikhlasmu dalam beramal merupakan wadah bagi ridlo dan rahmat-Nya, yang menarik dirimu masuk ke dalamnya…”
Pemuda itu semakin bengong antara tahu dan tidak.
“Begini saja, anak muda. Mana mungkin syurga tanpa Allah, mana mungkin neraka bersama Allah?”
Pemuda itu tetap saja bengong. Mulutnya melongo seperti kerbau.
ISA DAN ORANG-ORANG BIMBANG
Diceritakan oleh Sang Guru Jalaludin Rumi dan yang
lain-lain, pada suatu hari Isa, putra Mariam, berjalan-jalan
di padang pasir dekat Baitulmukadis bersama-sama sekelompok
orang yang masih suka mementingkan diri sendiri.
Mereka meminta dengan sangat agar Isa memberitahukan kepada
mereka Kata Rahasia yang telah dipergunakannya untuk
menghidupkan orang mati. Isa berkata, "Kalau kukatakan itu
padamu, kau pasti menyalahgunakannya."
Mereka berkata, "Kami sudah siap dan sesuai untuk
pengetahuan semacam itu; tambahan lagi, hal itu akan
menambah keyakinan kami."
"Kalian tak memahami apa yang kalian minta," katanya -tetapi
diberitahukannya juga Kata Rahasia itu.
Segera setelah itu, orang-orang tersebut berjalan di suatu
tempat yang terlantar dan mereka melihat seonggok tulang
yang sudah memutih. "Mari kita uji keampuhan Kata itu," kata
mereka, Dan diucapkanlah Kata itu.
Begitu Kata diucapkan, tulang-tulang itupun segera
terbungkus daging dan menjelma menjadi seekor binatang liar
yang kelaparan, yang kemudian merobek-robek mereka sampai
menjadi serpih-serpih daging.
Mereka yang dianugerahi nalar akan mengerti. Mereka yang
nalarnya terbatas bisa belajar melalui kisah ini.
Catatan
Isa dalam kisah ini adalah Yesus, putra Maria. Kisah ini
mengandung gagasan yang sama dengan yang ada dalam Magang
Sihir, dan juga muncul dalam karya Rumi, di samping selalu
muncul dalam dongeng-dongeng lisan para darwis tentang
Yesus. Jumlah dongeng semacam itu banyak sekali.
Yang sering disebut-sebut sebagai tokoh yang suka
mengulang-ngulang kisah ini adalah salah seorang di antara
yang berhak menyandang sebutan Sufi, Jabir putra al-Hayan,
yang dalam bahasa Latin di sebut Geber, yang juga penemu
alkimia Kristen.
Ia meninggal sekitar 790. Aslinya ia orang Sabia, menurut
para pengarang Barat, ia membuat penemuan-penemuan kimia
penting.
ORANG YANG MENYADARI KEMATIAN
Konon, ada seorang raja darwis yang berangkat mengadakan
perjalanan melalui laut. Ketika penumpang-penumpang lain
memasuki perahu satu demi satu, mereka melihatnya dan
sebagai lazimnya --merekapun meminta nasehat kepadanya. Apa
yang dilakukan semua darwis tentu sama saja, yakni memberi
tahu orang-orang itu hal yang itu-itu juga: darwis itu
tampaknya mengulangi saja salah satu rumusan yang menjadi
perhatian darwis sepanjang masa.
Rumusan itu adalah: "Cobalah menyadari maut, sampai kau tahu
maut itu apa." Hanya beberapa penumpang saja yang secara
khusus tertarik akan peringatan itu.
Mendadak ada angin topan menderu. Anak kapal maupun
penumpang semuanya berlutut, memohon agar Tuhan
menyelamatkan perahunya. Mereka terdengar berteriak-teriak
ketakutan, menyerah kepada nasib, meratap mengharapkan
keselamatan. Selama itu sang darwis duduk tenang, merenung,
sama sekali tidak memberikan reaksi terhadap gerak-gerik dan
adegan yang ada disekelilingnya.
Akhirnya suasana kacau itu pun berhenti, laut dan langit
tenang, dan para penumpang menjadi sadar kini betapa tenang
darwis itu selama peristiwa ribut-ribut itu berlangsung.
Salah seorang bertanya kepadanya, "Apakah Tuan tidak
menyadari bahwa pada waktu angin topan itu tak ada yang
lebih kokoh daripada selembar papan, yang bisa memisahkan
kita dari maut?"
"Oh, tentu," jawab darwis itu. "Saya tahu, di laut selamanya
begitu. Tetapi saya juga menyadari bahwa, kalau saya berada
di darat dan merenungkannya, dalam peristiwa sehari-hari
biasa, pemisah antara kita dan maut itu lebih rapuh lagi."
Catatan
Kisah ini ciptaan Bayazid dari Bistam, sebuah tempat
disebelah selatan Laut Kaspia. Ia adalah salah seorang
diantara Sufi Agung zaman lampau, dan meninggal pada paroh
kedua abad kesembilan.
Ayahnya seorang pengikut Zoroaster, dan ia menerima
pendidikan kebatinannya di India. Karena gurunya, Abu-Ali
dari Sind, tidak menguasai ritual Islam sepenuhnya, beberapa
ahli beranggapan bahwa Abu-Ali beragama Hindu, dan bahwa
Bayazid tentunya mempelajari metode mistik India. Tetapi
tidak ada ahli yang berwewenang, diantara Sufi, yang
mengikuti anggapan tersebut. Para pengikut Bayazid termasuk
kaum Bistamia.
ORANG YANG BERJALAN DI ATAS AIR
Seorang darwis yang suka berpegang pada kaidah, yang berasal
dari mazhab sangat saleh, pada suatu hari berjalan menyusur
tepi sungai. Ia memusatkan perhatian pada pelbagai masalah
moral dan ajaran, sebab itulah yang menjadi pokok perhatian
pengajaran Sufi dalam mazhabnya. Ia menyamakan agama
perasaan dengan pencarian Kebenaran mutlak.
Tiba-tiba renungannya terganggu oleh teriakan keras:
seseorang terdengar mengulang-ngulang suatu ungkapan darwis.
"Tak ada gunanya itu," katanya kepada diri sendiri, "sebab
orang itu telah salah mengucapkannya. Seharusnya
diucapkannya YA-HU, tapi dia mengucapkannya U-YA-HU."
Kemudian ia menyadari bahwa, sebagai Darwis yang lebih
teliti, ia mempunyai kewajiban untuk meluruskan ucapan orang
itu. Mungkin orang itu tidak pernah mempunyai kesempatan
mendapat bimbingan yang baik, dan karenanya telah berbuat
sebaik-baiknya untuk menyesuaikan diri dengan gagasan yang
ada di balik suara yang diucapkannya itu.
Demikianlah Darwis yang pertama itu menyewa perahu dan pergi
ke pulau di tengah-tengah arus sungai, tempat asal suara
yang didengarnya tadi.
Didapatinya orang itu duduk disebuah gubuk alang-alang,
bergerak-gerak sangat sukar teratur mengikuti ungkapan yang
diucapkannya itu. "Sahabat," kata darwis pertama, "Anda
keliru mengucapkan ungkapan itu. Saya berkewajiban
memberitahukan hal ini kepada Anda, sebab ada pahala bagi
orang yang memberi dan menerima nasehat. Inilah ucapan yang
benar." Lalu di beritahukannya ucapan itu.
"Terima kasih," kata darwis yang lain itu dengan rendah
hati.
Darwis pertama turun ke perahunya lagi, sangat puas, sebab
baru saja berbuat amal. Bagaimanapun, kalau orang bisa
mengulang-ngulang ungkapan rahasia itu dengan benar, ada
kemungkinan bisa berjalan diatas air. Hal itu memang belum
pernah disaksikannya sendiri tetapi --berdasarkan alasan
tertentu-- darwis pertama itu ingin sekali bisa melakukannya.
Kini ia tak mendengar lagi suara gubuk alang-alang itu,
namun ia yakin bahwa nasehatnya telah dilaksanakan
sebaik-baiknya.
Kemudian didengarnya kembali ucapan U-YA yang keliru itu
ketika darwis yang di pulau tersebut mulai mengulang-ngulang
ungkapannya.
Ketika darwis pertama merenungkan hal itu, memikirkan betapa
manusia memang suka bersikeras mempertahankan kekeliruan,
tiba-tiba disaksikannya pandangan yang menakjubkan. Dari
arah pulau itu, darwis kedua tadi tampak menuju perahunya,
berjalan diatas air.
Karena takjubnya, ia pun berhenti mendayung. Darwis keduapun
mendekatinya, katanya, "Saudara, maaf saya mengganggu Anda.
Saya datang untuk menanyakan cara yang benar untuk
mengucapkan ungkapan yang Anda beritahukan kepada saya tadi;
sulit benar rasanya mengingat-ingatnya."
Catatan
Dalam Bahasa Indonesia, hanya satu arti yang bisa
diungkapkan oleh kisah ini. Dalam versi Arab sering
dipergunakan kata-kata yang bunyinya sama tetapi berbeda
arti (homonim) untuk menyatakan bahwa kata itu bisa
dipergunakan untuk memperdalam kesadaran, disamping juga
menunjukkan sesuatu yang nilainya dangkal.
Di samping terdapat dalam sastra masa kini yang populer di
Timur, kisah ini juga didapati dalam naskah-naskah pelajaran
darwis, beberapa diantaranya sangat penting.
Versi ini berasal dan Kaum Asaaseen ('hakiki,' 'asli'), di
Timur Dekat dan Tengah.
|
SANG RAJA DAN ANAK MISKIN
Sendirian saja, orang tidak akan bisa menempuh jalan dalam
perjalanan batinnya. Kau tidak usah mencoba menempuhnya
sendirian, sebab harus ada pembimbingmu. Yang kita sebut
raja adalah pembimbing, dan anak miskin itu Si Pencari.
Dikisahkan, Raja Mahmud dan tentaranya terpisah. Ketika
sedang mengendarai kudanya kencang-kencang, dilihatnya
seorang anak lelaki kecil berada di tepi sungai. Anak itu
telah menebarkan jalanya ke sungai dan tampaknya sangat
murung.
"Anakku," kata Sang Raja, "kenapa kau murung? Tak pernah
kulihat orang semurung kau itu."
Anak lelaki itu menjawab, "Hamba salah seorang dari tujuh
bersaudara yang tidak berayah lagi. Kami hidup bersama ibu
kami dalam kemelaratan dan tanpa bantuan siapapun. Hamba
datang kemari setiap hari, memasang jala mencari ikan, agar
ada yang dimakan setiap malam. Kalau hamba tak menangkap
seekor ikanpun pada siang hari, malamnya kami tak punya
apa-apa."
"Anakku," kata Sang Raja, "bolehkah aku membantumu?" Anak
itu setuju, dan Rajapun melemparkan jala yang, karena
sentuhan kewibawaannya, menghasilkan seratus ikan."
Catatan
Oleh orang-orang yang belum luas pengetahuannya, sistem
metafisika sering dikira sebagai menolak nilai "benda
duniawi" atau, sebaliknya, menjanjikan melimpahnya
keuntungan kebendaan.
Namun, dalam Sufisme "hal-hal baik" yang dicapai tidak
selalu kiasan atau sama sekali harafiah. Kisah perumpamaan
ini berasal dari Faridudin Attar, dicantumkannya dalam
Parlemen Burung, dan dipergunakan dalam pengertian baik
harafiah maupun perlambangan. Menurut para darwis; seseorang
bisa mendapatkan kekayaan kebendaan dengan jalan Sufi,
apabila hal itu demi keuntungan Jalan dan juga dirinya
sendiri. Disamping itu, ia pun akan mendapatkan kepuasan
rohani sesuai dengan kemampuannya mempergunakan hal itu
dengan cara yang benar.
ANJING, TONGKAT DAN SUFI
Pada suatu hari seorang yang berpakaian sebagai Sufi
berjalan-jalan; ia melihat seekor anjing di jalan; ia pun
memukulnya dengan tongkat. Si Anjing, sambil melolong
kesakitan, berlari menuju Abu Said, Sang Ulama. Anjing
itupun menjatuhkan dirinya dekat kaki Sang Ulama sambil
memegang moncongnya yang terluka; ia mohon keadilan karena
telah diperlakukan secara kejam oleh sufi itu.
Abu Said mempertemukan keduanya. Kepada Sufi dikatakannya,
"O Saudara yang seenaknya, kenapa kau perlakukan binatang
dungu ini sekasar itu! Lihat akibatperbuatanmu!"
Sang Sufi menjawab,"itu sama sekali bukan salahku, tapi
salahnya Saya tidak memukulnya tanpa alasan, saya memukulnya
karena ia mengotori jubahku."
Tetapi Si Anjing tetap menyampaikan keluhannya.
Kemudian Sang Bijaksana berbicara kepada Anjing, "Dari pada
menunggu Ganti Rugi Akhirat, baiklah saya berikan ganti rugi
bagi rasa sakitmu itu."
Si Anjing berkata, "Sang Agung dan Bijaksana! Ketika saya
melihat orang ini berpakaian sebagai Sufi, saya berfikir
bahwa ia tak akan menyakiti saya. Seandainya saya melihat
orang yang berpakaian biasa saja, tentunya akan saya berikan
keleluasaan padanya untuk lewat. Kesalahan utama saya adalah
menganggap bahwa pakaian orang suci itu menandakan
keselamatan. Apabila Tuan ingin menghukumnya, rampaslah
pakaian Sufinya itu. Campakkan dia dari pakaian Kaum
Terpilih Pencari Kebenaran ..."
Anjing itu sendiri berada suatu Tahap dalam Jalan. Sangat
keliru kalau kita beranggapan bahwa manusia harus lebih baik
darinya.
Catatan
"Penciptaan keadaan" yang disini ditampilkan oleh jubah Sufi
sering disalahtafsirkan oleh kaum kebatinan dan keagamaan
apa saja sebagai sesuatu yang berhubungan dengan pengalaman
dari kegunaan nyata.
Kisah ini, dari buku Attar Ilahi-Nama, sering diulang-ulang
oleh para Sufi "Jalan Salah," dan dianggap ciptaan Hamdun Si
Pemutih Kain, pada abad kesembilan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar